Masih diam terpaku
Memandang sang dewa senja
Hingga akhirnya ia menghilang
Seketika aku tersadar
Akan apa yang baru saja terjadi
Ia telah kembali
Kembali bersama kami di sini
Seseorang yang selama ini menghantui pikiranku
Seseorang yang selama ini menetap di tempat spesial itu
Seseorang yang selama ini ku nantikan
Dan kini
Ia datang
Membawa perubahan
Membawa suasana baru
Kedatangannya menghebohkan orang sekitar. Tak henti-hentinya juga setiap lewat pertigaan itu selalu kusempatkan melirik rumah di ujung gang itu.
Kudapati selembar kertas di atas meja . Sebuah undangan rupanya. Tertera besar-besar nama sang dewa senja itu di selembar kertas itu. Keluarganya mengadakan pesta penyambutan kembalinya ia ke lingkungan ini lagi. Malam nanti ujung gang itu pasti ramai, lebih ramai dari saat ini
Acara penyambutan dewa senja telah di mulai. Ku langkahkan kakiku menuju rumah di ujung gang itu. Ramai. Seperti apa yang telah ku katakan tadi. Ku lihat sekeliling mencoba mencari di mana keberadaan dewa senja. Tapi tak kunjung ku temukan. Ku ambil segelas minuman dan duduk di kursi taman itu. Kuamati teman-teman berpesta ria, termasuk aku yang mungkin akan bergabung dengan mereka seusai minuman ini habis.
Suasana malam itu memang ramai, ditambah angin malam yang berhembusan. Kudapati seseorang berdiri di sampingku. Aku mendongak ke atas untuk melihat wajahnya. Dewa senja rupanya.
" Nggak nyerobot kursi nih? " kataku.
Ya dia memang sering mengambil alih kursi-kursi yang sedang di dudukin orang lain, lebih tepatnya mengambil alih dengan paksa. atau istilah lainnya dia ingin menjahili orang.
" Enggak. Lebih baik kamu yang duduk " jawabnya
" Kenapa? " tanyaku lagi
" cewek lebih pantes duduk dari pada cowok " jawabnya santai
" Kamu aneh " kataku
Bukannya menjawab lagi, namun dia malah tersenyum membuatku yang sedari tadi menaikkan alis dengan terheran-heran menjadi diam terpaku, dan aku berkata dengan tatapan kosong
" Kamu kenapa? kok jadi kayak gini? " tanyaku. Dia mengusap rambutku seolah aku anak kecil
" Aku nggak papa, aku baik-baik aja. Aku udah nemuin jalanku Ri " katanya dengan penuh wibawa
" Maksudnya? " Aku masih terheran.
Aku telah mengerti. Dia menceritakan semua yang dia alami selama ini padaku. Dulu dia memang orang yang jail, menyusahkan orang lain, kelakuannya pun menjengkelkan. Hingga akhrinya dia lulus SMA dengan hasil yang tak memuaskan dan mungkin sangat mengecewakan. Hingga akhirnya dia menghilang dari lingkungan ini. Ternyata dia masuk ke perguruan tinggi yang cukup hebat. Perguruan tinggi yang sistemnya juga seperti militer-militer. Entah aku bingung juga, mungkin karena aku masih belum mengerti. Dan pantas saja, cara berjalannya, cara dia berbicara, cara dia memandang orang lain semuanya berubah.
Ibu sang dewa senja telah datang ke acara ini. Kami semua menyambutnya, diawali oleh dewa senja menyalami ibunya, di lanjutkan aku yang berada di sampingnya.
" Ini dia, anakku yang mama banggakan. Gimana sudah ada yang memikatmu di luar sana? " kata sang ibu.
Senyuman itu keluar lagi dan kini ia menatapku sambil merangkulku dan berkata pada ibunya
" Mungkin orang di sebelahku ini ma " jawabnya dengan senyuman tulus.
Ku naikkan alis kananku seolah terheran, dan aku hanya bisa tersenyum saat menyalami tante Heni.
" Gimana ma? " tanyanya dengan senyuman itu
" ya kalian dong, kenapa tanya mama? " tante Heni tersenyum.
Kami kembali ke kerumunan pesta dan kami berdiri bersebelahan.
" Aku sadar Ri, dulu aku salah. Aku salah, hingga aku harus pergi. Aku terlalu mebungkam diri, dan perkataanku saat bermain bola saat itu memang spontan aku ucapkan dan kamu lihat sendiri tadi aku sudah memperjelasnya " katanya dengan tatapan khasnya itu.
Ku balas tatapannya, namun tiba-tiba angin berhembus kencang, dedaunan berterbangan seolah merespon perkataannya. Hingga sehelai daun berhenti di depan mataku dan membuatku terkedip. Kupulihkan pandanganku yang remang-remang.
Dan aku tersadar, aku berada di atas sofa ruang tamu, jam dinding menunjukan pukul 5 pagi. Tidak ada pesta, tidak ada teman-teman, tidak ada dewa senja. Oh tuhan, ininhanyamimpi
Acara penyambutan dewa senja telah di mulai. Ku langkahkan kakiku menuju rumah di ujung gang itu. Ramai. Seperti apa yang telah ku katakan tadi. Ku lihat sekeliling mencoba mencari di mana keberadaan dewa senja. Tapi tak kunjung ku temukan. Ku ambil segelas minuman dan duduk di kursi taman itu. Kuamati teman-teman berpesta ria, termasuk aku yang mungkin akan bergabung dengan mereka seusai minuman ini habis.
Suasana malam itu memang ramai, ditambah angin malam yang berhembusan. Kudapati seseorang berdiri di sampingku. Aku mendongak ke atas untuk melihat wajahnya. Dewa senja rupanya.
" Nggak nyerobot kursi nih? " kataku.
Ya dia memang sering mengambil alih kursi-kursi yang sedang di dudukin orang lain, lebih tepatnya mengambil alih dengan paksa. atau istilah lainnya dia ingin menjahili orang.
" Enggak. Lebih baik kamu yang duduk " jawabnya
" Kenapa? " tanyaku lagi
" cewek lebih pantes duduk dari pada cowok " jawabnya santai
" Kamu aneh " kataku
Bukannya menjawab lagi, namun dia malah tersenyum membuatku yang sedari tadi menaikkan alis dengan terheran-heran menjadi diam terpaku, dan aku berkata dengan tatapan kosong
" Kamu kenapa? kok jadi kayak gini? " tanyaku. Dia mengusap rambutku seolah aku anak kecil
" Aku nggak papa, aku baik-baik aja. Aku udah nemuin jalanku Ri " katanya dengan penuh wibawa
" Maksudnya? " Aku masih terheran.
Aku telah mengerti. Dia menceritakan semua yang dia alami selama ini padaku. Dulu dia memang orang yang jail, menyusahkan orang lain, kelakuannya pun menjengkelkan. Hingga akhrinya dia lulus SMA dengan hasil yang tak memuaskan dan mungkin sangat mengecewakan. Hingga akhirnya dia menghilang dari lingkungan ini. Ternyata dia masuk ke perguruan tinggi yang cukup hebat. Perguruan tinggi yang sistemnya juga seperti militer-militer. Entah aku bingung juga, mungkin karena aku masih belum mengerti. Dan pantas saja, cara berjalannya, cara dia berbicara, cara dia memandang orang lain semuanya berubah.
Ibu sang dewa senja telah datang ke acara ini. Kami semua menyambutnya, diawali oleh dewa senja menyalami ibunya, di lanjutkan aku yang berada di sampingnya.
" Ini dia, anakku yang mama banggakan. Gimana sudah ada yang memikatmu di luar sana? " kata sang ibu.
Senyuman itu keluar lagi dan kini ia menatapku sambil merangkulku dan berkata pada ibunya
" Mungkin orang di sebelahku ini ma " jawabnya dengan senyuman tulus.
Ku naikkan alis kananku seolah terheran, dan aku hanya bisa tersenyum saat menyalami tante Heni.
" Gimana ma? " tanyanya dengan senyuman itu
" ya kalian dong, kenapa tanya mama? " tante Heni tersenyum.
Kami kembali ke kerumunan pesta dan kami berdiri bersebelahan.
" Aku sadar Ri, dulu aku salah. Aku salah, hingga aku harus pergi. Aku terlalu mebungkam diri, dan perkataanku saat bermain bola saat itu memang spontan aku ucapkan dan kamu lihat sendiri tadi aku sudah memperjelasnya " katanya dengan tatapan khasnya itu.
Ku balas tatapannya, namun tiba-tiba angin berhembus kencang, dedaunan berterbangan seolah merespon perkataannya. Hingga sehelai daun berhenti di depan mataku dan membuatku terkedip. Kupulihkan pandanganku yang remang-remang.
Dan aku tersadar, aku berada di atas sofa ruang tamu, jam dinding menunjukan pukul 5 pagi. Tidak ada pesta, tidak ada teman-teman, tidak ada dewa senja. Oh tuhan, ininhanyamimpi
0 komentar:
Posting Komentar